27 Desember
-syuting di seputaran UGM (fullday)
28 Desember
- nglanjuting syuting fullday di audit peternakan
- koor editing
29 Desember
- balikin kamera
- order komputer (dah jauh2 gak jadi ternyata tanggal merah)
- nyiapin acara tahun baru
30 Desember
- rapat koor syuting Januari
- konfirmasi skripsi
- deadline editing syuting HIAS
- Ambil laptop
31 Desember
- Laporan Jadwal Museum Kolong Tangga
- Order masuk editing mas Kun
- Deadline Arkeologi simbol
- Jadi pembahas Seminar Ageng
- Tahun Baru.................
1 Januari
- Circle K ke pantai Depok
- Perbanyak hasil syuting HIAS
- Editing order Himmapas 1
2 Januari
- Deadline perbanyak hasil syuting HIAS
- Selesai order Himmapas 1
- Editing order mas Kun
3 Januari
- Deadline editing order mas Kun
- Perbanyak hasil order Himmapas 1 & mas Kun
4 Januari
- Capture + editing syuting himmapas 2
- Skripsi
- Belajar
5 Januari
- Arkeologi Pasifik
- Skripsi
- Belajar
6 Januari
- Skripsi insyaAllah masukin bimbingan
- Belajar
7. Januari
- Arkeologi Simbol
- Skripsi
- Belajar
8. Januari
- Arkeologi Ekonomi
- Skripsi
- Belajar
9. Januari
- editing final syuting himmapas 2
- Skripsi
- Belajar
10. Januari
- perbanyak hasil editing syuting himmapas 2
- Skripsi
- Belajar
11. Januari
- Deadline order Himmapas 1 & 2
- Skripsi
- Belajar
12. Januari
- Perkembangan Agama Hindu Budha di Indonesia
- Skripsi
- Belajar
13. Januari
- Teknologi Batu
- Deadline skripsi
- Belajar
14. Januari
- Islam dan Kebudayaan
- Starting reorganize Museum Kolong Tangga
15. Januari - 30. Januari
- Fullday di museum kolong tangga
- Refisi Skripsi
31. Januari
- Syuting terakhir sebelum semua urusan selesai (amin...)
1. Februari
- Fullday di museum kolong tangga
- Refisi Skripsi
2. Februari
- opening 1 tahun Museum
10. Februari saemoga semuanya sudah selesai....
SMANGAT......!!!!!!!
Rabu, 31 Desember 2008
Sabtu, 27 Desember 2008
"Mif, cewekmu syapa"
Akh lagi2 pertanyaan ini... Sampai bosen aku bilang lagi jomblo. Pas tiba2 ada seorang cwe yang curhat lagi patah hati. Awalnya sih aku nanggapin aja, kupikir dia butuh teman untuk cerita. Dan sepolos polosnya aku, terbawa arus yang dibawa olehnya kedalam lautan yang tenang namun dalam. "Kalo gitu kamu ma aku aja..."
Jujur kau bukan orang pertama yang mengatakannya, dan kau juga bukan orang pertama yang cuma kulempar senyum dan beranjak pergi.
Tak bisakah kita manusia pria dan wanita itu berteman saja seperti biasa. Selalu saja ada konflik diantara jender yang bertolak belakang itu. Entah konflik pemersatu yang membuat adanya perasaan ingin menguasai pihak lain yang berakibat pada apa yang disebut pacaran.
Hm... Aku juga pengen punya pacar, tapi bukan kayak gitu. Meski disebut cinta itu memakai perasaan, tapi aku cenderung mengaitkannya dengan logika. Cwe yang tak pernah bisa hidup sendiri tanpa pacar seperti kebanyakan mereka yang merasa nestapa berlebihan itu, bukanlah cwe yang baik untuk dijadikan pacar. Itu idealisku yang memaksa ku untuk tidak tenggelam dalam perasaan yang terlalu dangkal. Aku yakin cinta itu bisa diciptakan dan bisa dihilangkan, meski dalam prosesnya tidaklah mudah untuk melakukannya.
Pernah aku dijuluki playboy, dan itu bukan karena aku mencoba untuk mencari cinta di sana sini, melainkan karena logika-logika yang ku haturkan terkadang membuat orang berfikir aku ini bijaksana. Dan ujungnya, setiap kebijaksanaan yang mereka pikir perhatian itu justru membuatku muak. Aku cuma ingin membantu, dan siapa sangka kalau bantuanku selalu disalah artikan wanita-wanita haus cinta itu...
Jujur kau bukan orang pertama yang mengatakannya, dan kau juga bukan orang pertama yang cuma kulempar senyum dan beranjak pergi.
Tak bisakah kita manusia pria dan wanita itu berteman saja seperti biasa. Selalu saja ada konflik diantara jender yang bertolak belakang itu. Entah konflik pemersatu yang membuat adanya perasaan ingin menguasai pihak lain yang berakibat pada apa yang disebut pacaran.
Hm... Aku juga pengen punya pacar, tapi bukan kayak gitu. Meski disebut cinta itu memakai perasaan, tapi aku cenderung mengaitkannya dengan logika. Cwe yang tak pernah bisa hidup sendiri tanpa pacar seperti kebanyakan mereka yang merasa nestapa berlebihan itu, bukanlah cwe yang baik untuk dijadikan pacar. Itu idealisku yang memaksa ku untuk tidak tenggelam dalam perasaan yang terlalu dangkal. Aku yakin cinta itu bisa diciptakan dan bisa dihilangkan, meski dalam prosesnya tidaklah mudah untuk melakukannya.
Pernah aku dijuluki playboy, dan itu bukan karena aku mencoba untuk mencari cinta di sana sini, melainkan karena logika-logika yang ku haturkan terkadang membuat orang berfikir aku ini bijaksana. Dan ujungnya, setiap kebijaksanaan yang mereka pikir perhatian itu justru membuatku muak. Aku cuma ingin membantu, dan siapa sangka kalau bantuanku selalu disalah artikan wanita-wanita haus cinta itu...
Jumat, 26 Desember 2008
"Miftah, mau gak jadi pembahas di seminarku tentang museum?"
"nanti seminar tanggal 31 jam 15.00?"
aduh kata2 itu mengingatkan ku pada 2hal: kerjaan di museum yang belum tuntas, dan skripsi !!!
Tapi apa mau dikata, orang yang mendalami permuseuman gak banyak. Tadinya aku mau menolak, tapi aku pertimbangkan lagi daripada dibahas oleh orang yang gak ngerti banyak tentang museum, bisa berakibat fatal, hoho padahal aku juga masih belajar...
Hari ini aku berencana mengembalikan buku2 tentang museum, tapi aku batalkan, mau aku pelajari lagi buat membahas seminarnya Ageng. Hm... seminar tanggal 31 desember apa mau sekalian tahun baruan di ruang seminar yah... wkwkwk jadi gak kebayang mengakhiri tahun di ruang seminar kayak gimana yah???
By the Way alias BTW, thanks buat ageng yang uda mengundangku jadi pembahas di seminar dia, yah aku akan mencoba sebaik2nya meski udah lama gak ngomong di depan publik... akhir2 ini aku bergerak dibelakang layar terus sampe lupa gimana rasane ngomong di depan orang banyak, mesti grogi, gemeteran, lupa apa yang mau diomongkan... ah embuh pokoke jalanin aja, wkwkwk... Thanks juga undangane udah semakin mendorongku bwat segera nyelesaiin skripsiku. Ntar pasti ketemu pak musadad, trus ditanyain lagi "gimana skripsimu? kesenengen kerja lupa kuliah!"
"Ampun pak segera saya kerjakan....!?!"
aduh kata2 itu mengingatkan ku pada 2hal: kerjaan di museum yang belum tuntas, dan skripsi !!!
Tapi apa mau dikata, orang yang mendalami permuseuman gak banyak. Tadinya aku mau menolak, tapi aku pertimbangkan lagi daripada dibahas oleh orang yang gak ngerti banyak tentang museum, bisa berakibat fatal, hoho padahal aku juga masih belajar...
Hari ini aku berencana mengembalikan buku2 tentang museum, tapi aku batalkan, mau aku pelajari lagi buat membahas seminarnya Ageng. Hm... seminar tanggal 31 desember apa mau sekalian tahun baruan di ruang seminar yah... wkwkwk jadi gak kebayang mengakhiri tahun di ruang seminar kayak gimana yah???
By the Way alias BTW, thanks buat ageng yang uda mengundangku jadi pembahas di seminar dia, yah aku akan mencoba sebaik2nya meski udah lama gak ngomong di depan publik... akhir2 ini aku bergerak dibelakang layar terus sampe lupa gimana rasane ngomong di depan orang banyak, mesti grogi, gemeteran, lupa apa yang mau diomongkan... ah embuh pokoke jalanin aja, wkwkwk... Thanks juga undangane udah semakin mendorongku bwat segera nyelesaiin skripsiku. Ntar pasti ketemu pak musadad, trus ditanyain lagi "gimana skripsimu? kesenengen kerja lupa kuliah!"
"Ampun pak segera saya kerjakan....!?!"
setelah 4 tahun akhirnya aku kembali ke candi sukuh cetho...
masih teringat dulu pertama kali masuk arkeologi, candi ini yang pertama kali dikunjungi. Tahun 2004 merupakan tahun tahun awal kebangkitan arkeologi (huehehe ada ada wae). Akh jadi kangen ma anak2 arkeo 2004 yang dulunya jadi angkatan paling kompak se arkeo... bayangin aja, kemana-mana selalu ber 26, bahkan hampir tiap bulan selalu ada kegiatan keluar bareng2. sampai akhirnya mulai pecah di tahun 2006 gara2 sibuk dengan urusan masing2... Saiki sudah satu orang lepas dari arkeologi 2004, smoga aja aku segera menyusul, hehe...
Setelah sekian tahun itu, aku kembali ke kawasan candi cetho-candi sukuh.. dan sekarang, aku bisa bercerita kepada mereka tentang sejarah candi cetho dan sukuh yang dulu diceritakan padaku...
lumayan tragis perjalanan kesana. Pertama janjian kumpul jam 9 dan berangkat jam 10. Namun ada aja yang bikin karet molor sampe jam 11. Dan di perjalanan.... baru sampai daerah bogem, salah satu ban motor bocor. apes deh!!! menunggu-menunggu dan menunggu, akhirnya jalan lagi, tapi ternyata mendekati masuk sukoharjo, tu ban bandel bocor lagi... hore...
Perjalanan dari solo dilanjutkan lagi dan sampai di candi pada pukul 14.00, wah kabutnya pas naik... jadi jarak pandang sangat terbatas. Selesai acara, yang notabene dipadatkan gara2 waktu yang mepet, turun dari candi pas maghrib, dan apesnya ban motor lain yang juga bandel, ikutan bocor. Sampai di solo pukul 19.30 akupun langsung kebut pulang ke jogja, sementara yang lain masih berhenti untuk makan...
Yah meskipun singkat, tapi aku cukup senang membuka kembali memory abhiseka ratri 4 tahun lalu. Sudah banyak yang berubah dari kedua candi itu, dan entah kenapa lepas dari sorotan para arkeolog yang lagi sibuk dengan urusan mereka masing2 (termasuk aku)
Setelah sekian tahun itu, aku kembali ke kawasan candi cetho-candi sukuh.. dan sekarang, aku bisa bercerita kepada mereka tentang sejarah candi cetho dan sukuh yang dulu diceritakan padaku...
lumayan tragis perjalanan kesana. Pertama janjian kumpul jam 9 dan berangkat jam 10. Namun ada aja yang bikin karet molor sampe jam 11. Dan di perjalanan.... baru sampai daerah bogem, salah satu ban motor bocor. apes deh!!! menunggu-menunggu dan menunggu, akhirnya jalan lagi, tapi ternyata mendekati masuk sukoharjo, tu ban bandel bocor lagi... hore...
Perjalanan dari solo dilanjutkan lagi dan sampai di candi pada pukul 14.00, wah kabutnya pas naik... jadi jarak pandang sangat terbatas. Selesai acara, yang notabene dipadatkan gara2 waktu yang mepet, turun dari candi pas maghrib, dan apesnya ban motor lain yang juga bandel, ikutan bocor. Sampai di solo pukul 19.30 akupun langsung kebut pulang ke jogja, sementara yang lain masih berhenti untuk makan...
Yah meskipun singkat, tapi aku cukup senang membuka kembali memory abhiseka ratri 4 tahun lalu. Sudah banyak yang berubah dari kedua candi itu, dan entah kenapa lepas dari sorotan para arkeolog yang lagi sibuk dengan urusan mereka masing2 (termasuk aku)
Rabu, 24 Desember 2008
Kisah nyata perjuangan seorang warga amerika untuk afganistan...
Judul Film: Charlie Wilson's War
Film yang bertemakan perang ini mengambil kisah nyata seorang pejabat sipil Amerika yang berhasil mengahiri perang dan penindasan NAZI di Afganistan. Meskipun bertemakan perang, bagi para penggemar film perang akan merasa sedikit kecewa karena film ini tidak menonjolkan perjuangan di garis depan. Genre film ini tergolong jarang karena menceritakan tentang kehidupan pejabat di balik meja saat terjadi perang.
Bagaimana dunia politik, intrik dan koalisi serta tipuan terjadi di tengah perang yang hampir tidak dipedulikan oleh pihak negara lain yang sedang berdamai. Disinilah seorang pejabat sipil bernama Charlie Wilson tergerak hatinya untuk mengakhiri penindasan Nazi atas Afganistan.
Film ini dibuka dengan penganugerahan penghargaan oleh presiden kepada warga sipil untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika. Charlie Wilson seorang pejabat sipil yang merasa telah membantu banyak dalam perang Afganistan mulai menyadari bahwa apa yang telah dia lakukan sebenarnya tidak ada pengaruhnya sama sekali ketika dia terjun langsung melihat anak2 di perbatasan Afganistan yang kehilangan kaki dan tangannya karena memungut ranjau. Setelah melihat langsung penindasan NAZI terhadap Afganistan, dia mulai semakin gencar bertekat untuk mengakhiri penderitaan rakyat Afganistan. Film ini diakhiri dengan ending kekecewaan Charlie karena alokasi dana sisa perang Afganistan yang di anggarkannya untuk membangun sekolah di Afganistan ditolak secara mutlak oleh pejabat tinggi Amerika karena dirasa tidak ada gunanya.
Alur dalam film ini bertumpuk dan mengalir dengan cepat, sehingga menjadikannya film yang berat untuk ditonton meskipun kita tidak dituntut untuk turut brpikir ketika menyaksikannya seperti halnya film-film berat lain. Bagaimanapun, film ini diangkat dari kisah nyata yang mana harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan meskipun kita dapat mewujudkannya dengan usaha.
Film yang bertemakan perang ini mengambil kisah nyata seorang pejabat sipil Amerika yang berhasil mengahiri perang dan penindasan NAZI di Afganistan. Meskipun bertemakan perang, bagi para penggemar film perang akan merasa sedikit kecewa karena film ini tidak menonjolkan perjuangan di garis depan. Genre film ini tergolong jarang karena menceritakan tentang kehidupan pejabat di balik meja saat terjadi perang.
Bagaimana dunia politik, intrik dan koalisi serta tipuan terjadi di tengah perang yang hampir tidak dipedulikan oleh pihak negara lain yang sedang berdamai. Disinilah seorang pejabat sipil bernama Charlie Wilson tergerak hatinya untuk mengakhiri penindasan Nazi atas Afganistan.
Film ini dibuka dengan penganugerahan penghargaan oleh presiden kepada warga sipil untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika. Charlie Wilson seorang pejabat sipil yang merasa telah membantu banyak dalam perang Afganistan mulai menyadari bahwa apa yang telah dia lakukan sebenarnya tidak ada pengaruhnya sama sekali ketika dia terjun langsung melihat anak2 di perbatasan Afganistan yang kehilangan kaki dan tangannya karena memungut ranjau. Setelah melihat langsung penindasan NAZI terhadap Afganistan, dia mulai semakin gencar bertekat untuk mengakhiri penderitaan rakyat Afganistan. Film ini diakhiri dengan ending kekecewaan Charlie karena alokasi dana sisa perang Afganistan yang di anggarkannya untuk membangun sekolah di Afganistan ditolak secara mutlak oleh pejabat tinggi Amerika karena dirasa tidak ada gunanya.
Alur dalam film ini bertumpuk dan mengalir dengan cepat, sehingga menjadikannya film yang berat untuk ditonton meskipun kita tidak dituntut untuk turut brpikir ketika menyaksikannya seperti halnya film-film berat lain. Bagaimanapun, film ini diangkat dari kisah nyata yang mana harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan meskipun kita dapat mewujudkannya dengan usaha.
Orang belanda menulis sejarah dari sudut orang jawa
Judul Buku: Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870
Karya : Vincent J.H. Houben
Buku ‘Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870’ adalah buku karangan Vincent J.H. Houben yang semula merupakan tesisnya yang berhasil dipertahankan di Universitas Leiden pada tahun 1987 dengan sedikit perubahan bahasa agar dapat diterima oleh kalangan masyarakat luas, bukan hanya kalangan akademisi. Pada dasarnya buku ini mengulas tentang persoalan-persoalan dalam keraton Yogyakarta dan Surakarta pasca kedatangan bangsa Belanda dalam kurun waktu tahun 1830 sampai dengan 1870. Buku ini merupakan sumbangan besar untuk pengetahuan sejarah mengenai keraton mengingat keterbatasan akses ke dalam keraton selama ini sehingga susah untuk mendapatkan informasi terutama tentang sejarah keraton itu sendiri.
Houben yang menmperoleh data dari Belanda tidak hanya menulis pandangan dari sudut pihak kolonialisme Belanda, namun juga dari bagaimana sudut pandangan imperialisme di Jawa sendiri. Hal ini dikarenakan Houben tidak hanya menggunakan sumber-sumber berbahasa Belanda, namun juga sumber-sumber berbahasa Jawa yang didapatnya dari perpustakaan universitas Leiden. Sebagian besar manuskrip berbahasa Jawa di universitas Leiden adalah salinan dari yang asli yang sudah hilang atau berada di dalam keraton yang susah untuk diakses masyarakat umum.
Buku ini menuliskan tentang dua daerah semi-otonom di Indonesia yang memiliki status kuat di mata masyarakat Jawa. Diawali dari tahun 1830 yaitu selesainya perang Jawa dengan ditanda-tangani perjanjian mengenai peletakan batas-batas kekuasaan, hingga tahun 1970, dengan selesainya pembangunan jalur kereta api Yogyakarta – Semarang dan Solo – Semarang yang berarti puncak ekploitasi Belanda terhadap dua wilayah tersebut. Tahun – tahun tersebut merupakan titik awal pembangunan secara bertahap yang dilakukan oleh dua kerajaan setelah perang Jawa.
Sistem Pemerintahan
Pembagian wilayah kerajaan didasarkan pada sejumlah lingkaran konsentrasi. Dari lingkaran dalam nagara (ibukota), nariwita dalem (ranah-ranah raja), nagaragung (tanah-tanah apanase), dan mancanagara (wilayah luar). Di puncak tangga bangsawan Jawa ada raja yang didalam kerajaan Islam disebut sebagai sultan dan susuhan yang melegitimasi kekuasaannya dengan mengaku memiliki posisi sakral. Seharusnya, raja tidak mencampuri urusan pemerintahan kerajaan yang telah diserahkan kepada patih, namun praktiknya berbeda. Elite kerajaan terdiri 3 kelompok yaitu para satriya yang memiliki hubungan dengan para penguasa, priyayi yang bertanggung jawab menjaga keadilan dan ketertiban di luar ibukota, serta para aristokrat religius yang terdiri dari petugas Muslim yang bertugas mengelola masjid, menjaga makam, dan memberi instruksi agama.
Manajemen keraton berada di bawah kewenangan empat nayaka (bupati jero). Seluruh wilayah kekuasaan di luar ibukota berada dalam yuridikasi kapatihan yang dipimpin oleh patih. Kadipaten yang dipimpin oleh pangeran adipati (putra mahkota) menduduki sebuah posisi di atas semua kerabat yang memiliki hubungan darah dengan penguasa. Serta pangulon yang diatur oleh pangulu mengatur hal yang berkaitan dengan agama. Masing-masing bangsawan pengatur manajemen tersebut memiliki kompleks kantor dan tempat tinggal sendiri yang saling berdekatan satu sama lain, sehingga kerap menimbulkan ketegangan.
Narawita adalah tanah yang dipesan untuk penguasa yang penghasilan darinya diperuntukkan bagi penguasa dan keluarganya. Nagaragung adalah tanah milik para warga istana yang diperlakukan sama seperti narawita. Pengelolaan tanah tersebut dilakukan oleh nayaka jaba. Pemegang tanah perdikan diwajibkan menyerahkan 2/5 hasil pertanian dan pekerja wajib kepada keraton. Selain itu, pemegang tanah juga diwajibkan memelihara hukum dan ketertiban lingkngannya.
Daerah mancanagara adalah daerah terjauh dari keraton. Semakin jauh dari wilayah ibukota, semakin bebas penguasaan terhadap tanah oleh para bangsawan setempat. Para “penguasa bebas” di mancanagara dipaksa unuk tinggal berlama-lama di tampuk kekuasaannya. Sang penguasa mengawinkan habis semua kerabat perempuannya untuk memperkuat basis kekuasaannya. Mereka memperoleh 2/5 dari hasil tanah daerah kekuasaannya. Orang yang memberontak terhadap sistem upeti diadili dan kemudian dihukum mati.
Sultan Hamengku Buwana III melakukan tindakan dengan alasan politis untuk mengontrol kekuasaannya yang sangat terbatas di daerah mancanagara. Anggota wanita dari para pengawal pribadi yang telah terlatih dinikahkan dengan para bupati mancanagara, sedangkan sultan sendiri juga menikah dengan wanita dari daerah mancanagara dimana kekuasaannya hanya memiliki sedikit pengaruh. Sementara untuk meningkatkan status kesakralan posisinya, sultan mengambil selir dari putri para ulama.
Keadaan setelah perang Jawa (1825-1830)
Van den Bosch menetapkan kebijakan mempercayakan kekuasaan Belanda kepada para bupati di Jawa. Dia merasa perlu tetap mempertahankan kekuasaan raja-raja di Jawa untuk memberi kesan kepada rakyat bahwa para bupati berada di bawah raja padahal sebenarnya tidak. Kebijakannya ditentang oleh Merkus yang tidak setuju keraton Solo dan Yogya tetap memegang kekuasaan, karena bisa memunculkan klaim kemerdekaan dari kedua keraton atau menimbulkan pemberontakan baru. Merkus de Kock menganggap tujuan pemerintah Belanda menggulingkan kedua kerajaan di bawah tahta mereka akan sulit dilakukan dengan rencana Van den Bosch. Van den Bosch yang gentar pada kritikan terhadap rencananya memberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan misi Merkus dan Van Sevenhoven.
Keadaan keraton Yogyakarta sangat menderita karena perang. Keraton dan istana kepangeranan banyak yang rusak, penduduk mengungsi secara besar-besaran, kekurangan pangan dimana-mana dan keadaan sultan Hamengku Buwana V yang masih anak-anak belum bisa menggunakan kewenangan pribadinya. Sebagian anggota keluarga Diponegoro minta ijin kembali ke ibukota. Dipakusuma, salah seorang anak dari Diponegoro mengirimkan surat kepada residen van Nes untuk memulihkan kedudukannya yang dihormati Belanda. Tanggal 29 Maret 1830, van Nes mengumumkan penangkapan Diponegoro. Mayoritas pangeran yang hadir menyatakan kegembiraannya, sementara yang tampak kurang senang diawasi dengan ketat.
Keadaan keraton Surakarta berbeda dengan keraton Yogyakarta. Istana dan keraton terhindar dari kerusakan akibat perang, namun selama perang, hubungan dengan daerah luar terputus sehingga keraton kekurangan pasokan bahan makanan. Di tambah lagi dengan kepenguasaan susuhan Paku Buwana VI masih menjadi persengketaan diantara warga istana. Paku Buwana akhirnya memutuskan untuk berdamai dengan Balanda. Dia menjadi lebih sering berkumpul dengan orang Eropa. Berita tertangkapnya Diponegoro dimanfaatkan untuk memamerkan itikad baik Paku Buwana kepada Belanda untuk mendamaikan Jawa. Hal ini dimanfaatkan Belanda untuk meminta wilayah Solo dan pembubaran prajurit yang dibentuk sunan.
Masalah Suksesi Pemerintahan
Ada rangkaian kejadian masalah besar yang mirip yang terjadi di Yogyakarta dan Surakarta. Masalah suksesi yang terjadi di Solo tahun 1834-1858 dan di Yogyakarta tahun 1847-1869 dikarenakan tidak adanya keturunan laki-laki dari raja. Paku Buwana VII, yang menggantikan Paku Buwana VI yang melarikan diri, memiliki putri beranam Raden Ayu Sekarkedhaton yang selalu menjadi objek lamaran dari berbagai penjuru, Pangeran Mangkubumi, putra Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Riya Kusuma, Raden Mas Deksana (Putra Paku Buwana VI), bahkan sampai Mangkunagara III (putra mahkota Yogyakarta). Akan tetapi, Raden Ayu Sekarkedhaton dengan dukungan ayahnya menolak politik perkawinan yang sudah biasa dilakukan pihak yang haus kekuasaan.
Ketika Paku Buwana VII wafat, Raden Ayu Sekarkedathon menjadi penerus tahta dan diberi hak menentukan sendiri pria yang akan dinikahinya. Namun Campur tangan Belanda mengumumkan secara pribadi Pangeran Adipati Ngabehi dinobatkan sebagai Susuhan dan putra Paku Buwana VI, Pangeran Prabuwijaya, sebagai putra mahkota. Paku Buwana VIII hanya sebentar memegang takhtanya, bulan 1858 sampai Desember 1861. Setelah kematiannya, putra mahkota Pabruwijaya dinyatakan sebagai Paku Buwana IX dan dinobatkan sebagai susuhan.
Di Yogyakarta, putri Hamengku Buwana V, Raden Ajeng Sukinah menikah dengan putra tidak sah Hamengku Buwana VI, pangeran Ngabehi, dengan demikian memulihkan garis keturunan langsung dari Hamengku Buwana V. Namun legitimasi perkawinan ini gugur karena pangeran Ngabehi mengelantarkan Raden Ajeng Sukinah. Dalam hal ini, berarti politik perkawinan juga tidak berhasil di Yogyakarta.
Tahun 1872, Sultan yang tidak memiliki putra sah, adik laki-laki, atau paman, memutuskan menaikkan selirnya, Raden Ayu Sepuh, ke posisi ratu. Dengan demikian, pangeran Ngabehi diangkan menjadi Pangeran Adipati Anom dan direncanakan akan naik tahta setelah meninggalnya Hamengku Buwana VI.
Perubahan – Perubahan di Masyarakat
Setelah tahun 1860, Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta mengalami perubahan ekonomi yang besar bersama dengan tumbuhnya perkebunan barat di bawah manajemen orang Indo-Erora, orang Belanda dan lain-lain yang mengkonsentrasikan diri dalam produksi pertanian berskala besar untuk pasar Eropa. Mudahnya tanah di kedua kerajaan tersebut dikarenakan sistem tanah lungguh Jawa tradisional, dimana menyewakan tanah untuk mendapat uang merupakan bagian dari tradisi yang sudah lama berkembang.
Penyewa tanah memberikan perubahan draktis kepadakepemilikan lahan dan pekerjaan penduduk. Luas tanah yang biasa ditanami tanaman pokok oleh penduduk, berkurang. Harga beras meningkat seiring permintaan terhadap barang yang semakin berkurang. Cepatnya ekspansi jumlah dan luas area perkebunan di kedua kerajaan ini menyebabkan ditebangnya hutan-hutan jati. Pembukaan rel kereta api ke Semarang berarti melonjaknya mobilitas orang dan barang.
Pada awalnya pemilik tanah lebih kaya, namun akhirnya kehilangan sebagian kekuasaan dan kewibawaannya. Jumlah petani pemilik tanah berkurang dan jumlah buruh upahan meningkat. Perubahan sosial berubahan secara draktis seiring dengan perubahan ekonomi.
TENTANG KAJIAN
Buku yang sama pernah ditulis oleh C.J.J Van de Haspel dalam desertasinya yang membahas tentang perubahan keraton Surakarta dan Yogyakarta dengan kurun waktu 1880 sampai dengan 1930. Dalam desertasi yang diterbitkan sebagai buku itu, Van de Haspel menyinggung awal perubahan keraton diawali tahun 1830. Namun beda dengan Van de Haspel yang hanya menggunakan sumber berbahasa Belanda, Houben yang mengangkat perubahan kedua keraton di tahun 1830 hingga 1870, selain menggunakan sumber berbahasa Belanda, dia juga menggunakan sumber berbahasa Jawa dan Melayu. Selain sumber dari perpustakaan Universitas Leiden, Houben sempat berkunjung di Jakarta selama beberapa tahun untuk mepelajari sumber-sumber lokal. Buku ini lebih Indonesia-sentris daripada kajian dalam buku lain yang serupa.
Kajian dalam buku ini pada dasarnya adalah sejarah kolonial dengan studi epigrafi. Namun dalam perjalanan, buku ini lebih banyak mengkaji tentang kehidupan keraton yang dalam hal ini berarti masuk dalam sejarah Islam.
Kelebihan dari buku ini adalah kajiannya yang sangat jarang bisa didapatkan orang yaitu tentang sejarah di dalam keraton. Pembahasan mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil pihak keraton, keburukan yang dilakukan, hingga laporan keuangan terperinci dipaparkan dengan jelas. Kekurangan dalam buku ini adalah lebih membahas pandangan dari petinggi di keraton, sehingga kurang memperhatikan bagaimana pandangan masyarakat kecil. Hal ini tak lain dikanakan studi yang dilakukannya adalah studi epigrafi dan sejarah, yang mana sumber tertulis lebih banyak dibuat oleh kalangan bangsawan mengenai kegiatan mereka daripada memperhatikan sekitarnya.
Karya : Vincent J.H. Houben
Buku ‘Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870’ adalah buku karangan Vincent J.H. Houben yang semula merupakan tesisnya yang berhasil dipertahankan di Universitas Leiden pada tahun 1987 dengan sedikit perubahan bahasa agar dapat diterima oleh kalangan masyarakat luas, bukan hanya kalangan akademisi. Pada dasarnya buku ini mengulas tentang persoalan-persoalan dalam keraton Yogyakarta dan Surakarta pasca kedatangan bangsa Belanda dalam kurun waktu tahun 1830 sampai dengan 1870. Buku ini merupakan sumbangan besar untuk pengetahuan sejarah mengenai keraton mengingat keterbatasan akses ke dalam keraton selama ini sehingga susah untuk mendapatkan informasi terutama tentang sejarah keraton itu sendiri.
Houben yang menmperoleh data dari Belanda tidak hanya menulis pandangan dari sudut pihak kolonialisme Belanda, namun juga dari bagaimana sudut pandangan imperialisme di Jawa sendiri. Hal ini dikarenakan Houben tidak hanya menggunakan sumber-sumber berbahasa Belanda, namun juga sumber-sumber berbahasa Jawa yang didapatnya dari perpustakaan universitas Leiden. Sebagian besar manuskrip berbahasa Jawa di universitas Leiden adalah salinan dari yang asli yang sudah hilang atau berada di dalam keraton yang susah untuk diakses masyarakat umum.
Buku ini menuliskan tentang dua daerah semi-otonom di Indonesia yang memiliki status kuat di mata masyarakat Jawa. Diawali dari tahun 1830 yaitu selesainya perang Jawa dengan ditanda-tangani perjanjian mengenai peletakan batas-batas kekuasaan, hingga tahun 1970, dengan selesainya pembangunan jalur kereta api Yogyakarta – Semarang dan Solo – Semarang yang berarti puncak ekploitasi Belanda terhadap dua wilayah tersebut. Tahun – tahun tersebut merupakan titik awal pembangunan secara bertahap yang dilakukan oleh dua kerajaan setelah perang Jawa.
Sistem Pemerintahan
Pembagian wilayah kerajaan didasarkan pada sejumlah lingkaran konsentrasi. Dari lingkaran dalam nagara (ibukota), nariwita dalem (ranah-ranah raja), nagaragung (tanah-tanah apanase), dan mancanagara (wilayah luar). Di puncak tangga bangsawan Jawa ada raja yang didalam kerajaan Islam disebut sebagai sultan dan susuhan yang melegitimasi kekuasaannya dengan mengaku memiliki posisi sakral. Seharusnya, raja tidak mencampuri urusan pemerintahan kerajaan yang telah diserahkan kepada patih, namun praktiknya berbeda. Elite kerajaan terdiri 3 kelompok yaitu para satriya yang memiliki hubungan dengan para penguasa, priyayi yang bertanggung jawab menjaga keadilan dan ketertiban di luar ibukota, serta para aristokrat religius yang terdiri dari petugas Muslim yang bertugas mengelola masjid, menjaga makam, dan memberi instruksi agama.
Manajemen keraton berada di bawah kewenangan empat nayaka (bupati jero). Seluruh wilayah kekuasaan di luar ibukota berada dalam yuridikasi kapatihan yang dipimpin oleh patih. Kadipaten yang dipimpin oleh pangeran adipati (putra mahkota) menduduki sebuah posisi di atas semua kerabat yang memiliki hubungan darah dengan penguasa. Serta pangulon yang diatur oleh pangulu mengatur hal yang berkaitan dengan agama. Masing-masing bangsawan pengatur manajemen tersebut memiliki kompleks kantor dan tempat tinggal sendiri yang saling berdekatan satu sama lain, sehingga kerap menimbulkan ketegangan.
Narawita adalah tanah yang dipesan untuk penguasa yang penghasilan darinya diperuntukkan bagi penguasa dan keluarganya. Nagaragung adalah tanah milik para warga istana yang diperlakukan sama seperti narawita. Pengelolaan tanah tersebut dilakukan oleh nayaka jaba. Pemegang tanah perdikan diwajibkan menyerahkan 2/5 hasil pertanian dan pekerja wajib kepada keraton. Selain itu, pemegang tanah juga diwajibkan memelihara hukum dan ketertiban lingkngannya.
Daerah mancanagara adalah daerah terjauh dari keraton. Semakin jauh dari wilayah ibukota, semakin bebas penguasaan terhadap tanah oleh para bangsawan setempat. Para “penguasa bebas” di mancanagara dipaksa unuk tinggal berlama-lama di tampuk kekuasaannya. Sang penguasa mengawinkan habis semua kerabat perempuannya untuk memperkuat basis kekuasaannya. Mereka memperoleh 2/5 dari hasil tanah daerah kekuasaannya. Orang yang memberontak terhadap sistem upeti diadili dan kemudian dihukum mati.
Sultan Hamengku Buwana III melakukan tindakan dengan alasan politis untuk mengontrol kekuasaannya yang sangat terbatas di daerah mancanagara. Anggota wanita dari para pengawal pribadi yang telah terlatih dinikahkan dengan para bupati mancanagara, sedangkan sultan sendiri juga menikah dengan wanita dari daerah mancanagara dimana kekuasaannya hanya memiliki sedikit pengaruh. Sementara untuk meningkatkan status kesakralan posisinya, sultan mengambil selir dari putri para ulama.
Keadaan setelah perang Jawa (1825-1830)
Van den Bosch menetapkan kebijakan mempercayakan kekuasaan Belanda kepada para bupati di Jawa. Dia merasa perlu tetap mempertahankan kekuasaan raja-raja di Jawa untuk memberi kesan kepada rakyat bahwa para bupati berada di bawah raja padahal sebenarnya tidak. Kebijakannya ditentang oleh Merkus yang tidak setuju keraton Solo dan Yogya tetap memegang kekuasaan, karena bisa memunculkan klaim kemerdekaan dari kedua keraton atau menimbulkan pemberontakan baru. Merkus de Kock menganggap tujuan pemerintah Belanda menggulingkan kedua kerajaan di bawah tahta mereka akan sulit dilakukan dengan rencana Van den Bosch. Van den Bosch yang gentar pada kritikan terhadap rencananya memberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan misi Merkus dan Van Sevenhoven.
Keadaan keraton Yogyakarta sangat menderita karena perang. Keraton dan istana kepangeranan banyak yang rusak, penduduk mengungsi secara besar-besaran, kekurangan pangan dimana-mana dan keadaan sultan Hamengku Buwana V yang masih anak-anak belum bisa menggunakan kewenangan pribadinya. Sebagian anggota keluarga Diponegoro minta ijin kembali ke ibukota. Dipakusuma, salah seorang anak dari Diponegoro mengirimkan surat kepada residen van Nes untuk memulihkan kedudukannya yang dihormati Belanda. Tanggal 29 Maret 1830, van Nes mengumumkan penangkapan Diponegoro. Mayoritas pangeran yang hadir menyatakan kegembiraannya, sementara yang tampak kurang senang diawasi dengan ketat.
Keadaan keraton Surakarta berbeda dengan keraton Yogyakarta. Istana dan keraton terhindar dari kerusakan akibat perang, namun selama perang, hubungan dengan daerah luar terputus sehingga keraton kekurangan pasokan bahan makanan. Di tambah lagi dengan kepenguasaan susuhan Paku Buwana VI masih menjadi persengketaan diantara warga istana. Paku Buwana akhirnya memutuskan untuk berdamai dengan Balanda. Dia menjadi lebih sering berkumpul dengan orang Eropa. Berita tertangkapnya Diponegoro dimanfaatkan untuk memamerkan itikad baik Paku Buwana kepada Belanda untuk mendamaikan Jawa. Hal ini dimanfaatkan Belanda untuk meminta wilayah Solo dan pembubaran prajurit yang dibentuk sunan.
Masalah Suksesi Pemerintahan
Ada rangkaian kejadian masalah besar yang mirip yang terjadi di Yogyakarta dan Surakarta. Masalah suksesi yang terjadi di Solo tahun 1834-1858 dan di Yogyakarta tahun 1847-1869 dikarenakan tidak adanya keturunan laki-laki dari raja. Paku Buwana VII, yang menggantikan Paku Buwana VI yang melarikan diri, memiliki putri beranam Raden Ayu Sekarkedhaton yang selalu menjadi objek lamaran dari berbagai penjuru, Pangeran Mangkubumi, putra Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Riya Kusuma, Raden Mas Deksana (Putra Paku Buwana VI), bahkan sampai Mangkunagara III (putra mahkota Yogyakarta). Akan tetapi, Raden Ayu Sekarkedhaton dengan dukungan ayahnya menolak politik perkawinan yang sudah biasa dilakukan pihak yang haus kekuasaan.
Ketika Paku Buwana VII wafat, Raden Ayu Sekarkedathon menjadi penerus tahta dan diberi hak menentukan sendiri pria yang akan dinikahinya. Namun Campur tangan Belanda mengumumkan secara pribadi Pangeran Adipati Ngabehi dinobatkan sebagai Susuhan dan putra Paku Buwana VI, Pangeran Prabuwijaya, sebagai putra mahkota. Paku Buwana VIII hanya sebentar memegang takhtanya, bulan 1858 sampai Desember 1861. Setelah kematiannya, putra mahkota Pabruwijaya dinyatakan sebagai Paku Buwana IX dan dinobatkan sebagai susuhan.
Di Yogyakarta, putri Hamengku Buwana V, Raden Ajeng Sukinah menikah dengan putra tidak sah Hamengku Buwana VI, pangeran Ngabehi, dengan demikian memulihkan garis keturunan langsung dari Hamengku Buwana V. Namun legitimasi perkawinan ini gugur karena pangeran Ngabehi mengelantarkan Raden Ajeng Sukinah. Dalam hal ini, berarti politik perkawinan juga tidak berhasil di Yogyakarta.
Tahun 1872, Sultan yang tidak memiliki putra sah, adik laki-laki, atau paman, memutuskan menaikkan selirnya, Raden Ayu Sepuh, ke posisi ratu. Dengan demikian, pangeran Ngabehi diangkan menjadi Pangeran Adipati Anom dan direncanakan akan naik tahta setelah meninggalnya Hamengku Buwana VI.
Perubahan – Perubahan di Masyarakat
Setelah tahun 1860, Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta mengalami perubahan ekonomi yang besar bersama dengan tumbuhnya perkebunan barat di bawah manajemen orang Indo-Erora, orang Belanda dan lain-lain yang mengkonsentrasikan diri dalam produksi pertanian berskala besar untuk pasar Eropa. Mudahnya tanah di kedua kerajaan tersebut dikarenakan sistem tanah lungguh Jawa tradisional, dimana menyewakan tanah untuk mendapat uang merupakan bagian dari tradisi yang sudah lama berkembang.
Penyewa tanah memberikan perubahan draktis kepadakepemilikan lahan dan pekerjaan penduduk. Luas tanah yang biasa ditanami tanaman pokok oleh penduduk, berkurang. Harga beras meningkat seiring permintaan terhadap barang yang semakin berkurang. Cepatnya ekspansi jumlah dan luas area perkebunan di kedua kerajaan ini menyebabkan ditebangnya hutan-hutan jati. Pembukaan rel kereta api ke Semarang berarti melonjaknya mobilitas orang dan barang.
Pada awalnya pemilik tanah lebih kaya, namun akhirnya kehilangan sebagian kekuasaan dan kewibawaannya. Jumlah petani pemilik tanah berkurang dan jumlah buruh upahan meningkat. Perubahan sosial berubahan secara draktis seiring dengan perubahan ekonomi.
TENTANG KAJIAN
Buku yang sama pernah ditulis oleh C.J.J Van de Haspel dalam desertasinya yang membahas tentang perubahan keraton Surakarta dan Yogyakarta dengan kurun waktu 1880 sampai dengan 1930. Dalam desertasi yang diterbitkan sebagai buku itu, Van de Haspel menyinggung awal perubahan keraton diawali tahun 1830. Namun beda dengan Van de Haspel yang hanya menggunakan sumber berbahasa Belanda, Houben yang mengangkat perubahan kedua keraton di tahun 1830 hingga 1870, selain menggunakan sumber berbahasa Belanda, dia juga menggunakan sumber berbahasa Jawa dan Melayu. Selain sumber dari perpustakaan Universitas Leiden, Houben sempat berkunjung di Jakarta selama beberapa tahun untuk mepelajari sumber-sumber lokal. Buku ini lebih Indonesia-sentris daripada kajian dalam buku lain yang serupa.
Kajian dalam buku ini pada dasarnya adalah sejarah kolonial dengan studi epigrafi. Namun dalam perjalanan, buku ini lebih banyak mengkaji tentang kehidupan keraton yang dalam hal ini berarti masuk dalam sejarah Islam.
Kelebihan dari buku ini adalah kajiannya yang sangat jarang bisa didapatkan orang yaitu tentang sejarah di dalam keraton. Pembahasan mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil pihak keraton, keburukan yang dilakukan, hingga laporan keuangan terperinci dipaparkan dengan jelas. Kekurangan dalam buku ini adalah lebih membahas pandangan dari petinggi di keraton, sehingga kurang memperhatikan bagaimana pandangan masyarakat kecil. Hal ini tak lain dikanakan studi yang dilakukannya adalah studi epigrafi dan sejarah, yang mana sumber tertulis lebih banyak dibuat oleh kalangan bangsawan mengenai kegiatan mereka daripada memperhatikan sekitarnya.
Anak buah Mr.H yang aneh
Malam itu aku dateng menjemput mas D untuk mengambil bahan editan film di kantor Mr.H. Sampai disana, Mr.H sedang tidak berada di tempat, jadi yang menerima tamu pak S yang kebetulan lagi bertugas piket di kantor Mr.H. Beliau (pak S) ternyata adalah salah seorang yang tertarik untuk memesan film produksi sebelumnya. Nah cerita aneh itu berawal disini.
Pak S menanyakan ke mas D mengenai biaya produksi ulang film yang dikeluarkan 8 bulan yang lalu untuk kalangan terbatas. Selagi mas D berpikir, aku menanyakan untuk produksi apa dan berapa.
Pak S nampak bingung dengan pertanyaanku kemudian menjelaskan kalau 8 bulan yang lalu mas D memproduksi film muhasabah untuk kalangan terbatas. Aku pun bertanya produksi ulang yang dimaksud untuk apa dan berapa.
Pak S justru menjelaskan kalau mas D ini punya usaha produksi video, kemudian pak S mau pesan ke mas D. Terang saja aku juga jadi ikutan bingung dengan jawaban pak S. Nampaknya mas D juga bingung dengan pembicaraan ini sehingga cuma terdiam sambil memperhatikan kami.
Aku mengkonfirmasi ulang, apa pak S mau pesan pembuatan film atau bagaimana. Dijawabnya mau minta tolong mas D, dan memintaku untuk tidak menyela dulu. Aku yang bingung pun terdiam.
Saat itulah Mr.H datang, sambil menyalami kami dia mendengarkan permintaan pak S yang meminta tolong mas D untuk memproduksi ulang film 8 bulan yang lalu. Saat itu giliran Mr.H menyela pembicaraan Pak S....
Mr.H "lha mbok langsung aja minta tolong ke yang produksi film"
Pak S "lha iya tho pak, khan mumpung mas D ada disini"
Mr.H "si Miftah ada disini koq minta tolong mas D"
Pak S tampak bingung, saat itu aku baru tersadar kalo ternyata pak S ini tidak mengenalku. Padahal ini sudah pertemuan yang keberapakalinya denganku. Mas D pun tampaknya menyadari hal yang sama dengan ku, kemudian mas D menjelaskan kalau dia cuma perantara antara Mr.H denganku, sementara yang produksi tu film sebenarnya aku, bukan mas D.
Pak S yang antara bingung dan malu, meminta maaf... Aku cuma tertawa dalam hati, orang yang tadi menggebu-gebu langsung terdiam dan kemudian pamit melanjutkan piket d kantor Mr.H. Bahkan tampaknya lupa dengan permintaannya memproduksi ulang film 8 bulan yang lalu dan baru disampaikan lagi lewat sms setelah aku pulang dari kantor Mr.H.
Makane besok-besok konfirmasi dulu, jangan asal nyuruh aku diam :)
Pak S menanyakan ke mas D mengenai biaya produksi ulang film yang dikeluarkan 8 bulan yang lalu untuk kalangan terbatas. Selagi mas D berpikir, aku menanyakan untuk produksi apa dan berapa.
Pak S nampak bingung dengan pertanyaanku kemudian menjelaskan kalau 8 bulan yang lalu mas D memproduksi film muhasabah untuk kalangan terbatas. Aku pun bertanya produksi ulang yang dimaksud untuk apa dan berapa.
Pak S justru menjelaskan kalau mas D ini punya usaha produksi video, kemudian pak S mau pesan ke mas D. Terang saja aku juga jadi ikutan bingung dengan jawaban pak S. Nampaknya mas D juga bingung dengan pembicaraan ini sehingga cuma terdiam sambil memperhatikan kami.
Aku mengkonfirmasi ulang, apa pak S mau pesan pembuatan film atau bagaimana. Dijawabnya mau minta tolong mas D, dan memintaku untuk tidak menyela dulu. Aku yang bingung pun terdiam.
Saat itulah Mr.H datang, sambil menyalami kami dia mendengarkan permintaan pak S yang meminta tolong mas D untuk memproduksi ulang film 8 bulan yang lalu. Saat itu giliran Mr.H menyela pembicaraan Pak S....
Mr.H "lha mbok langsung aja minta tolong ke yang produksi film"
Pak S "lha iya tho pak, khan mumpung mas D ada disini"
Mr.H "si Miftah ada disini koq minta tolong mas D"
Pak S tampak bingung, saat itu aku baru tersadar kalo ternyata pak S ini tidak mengenalku. Padahal ini sudah pertemuan yang keberapakalinya denganku. Mas D pun tampaknya menyadari hal yang sama dengan ku, kemudian mas D menjelaskan kalau dia cuma perantara antara Mr.H denganku, sementara yang produksi tu film sebenarnya aku, bukan mas D.
Pak S yang antara bingung dan malu, meminta maaf... Aku cuma tertawa dalam hati, orang yang tadi menggebu-gebu langsung terdiam dan kemudian pamit melanjutkan piket d kantor Mr.H. Bahkan tampaknya lupa dengan permintaannya memproduksi ulang film 8 bulan yang lalu dan baru disampaikan lagi lewat sms setelah aku pulang dari kantor Mr.H.
Makane besok-besok konfirmasi dulu, jangan asal nyuruh aku diam :)
Senin, 22 Desember 2008
set busy... lupa sesuatu
huif...
Jumat 20 desember 2008
Malam itu aku nginep di tempate A, temen chating anak uii yang kosnya deket kosku, ngutak-atik internet sambil menunggu waktunya sholat jumat menemani A tidur. Hoho anak ini berhasil mbobol server telkomsel, jadi ngenet gratis meski super lemot. Selesai jumatan aku ke indosat untuk menyeting kartu indosatm2 ku yang gak bisa dipakai padahal udah diaktifin, dapetnya sih antrian 647, dan sekarang lagi antrian 637, dibanding antrian lain, yang antri di bilik m2 paling sedikit, tapi siapa sangka antriane bakal paling lama dari yang lain. Hoho aku sampe tidur di indosat nunggu antrian, sialan selesai jam 5 sore...
Adik kelasku dah janji mau ke jogja sama temene, so aku musti siap2 jemput mereka, yah terpaksa gak mandi deh.... (padahal emang males) Malem itu ngumpul sama anak-anak terus beli nasi goreng dibungkus meski akhire nasi gorengku dimaem temen2.
Nginep di kantor D rame-rame, aku gak tidur gara2 nyoba setingan m2 yang baru.
Paginya nganter adik kelas ke busway, kemudian siap-siap buat touring ke Candi Cetho.(cerita di candi Cetho laen kali aja)
Pulang dari candi Cetho sudah jam 8 malem lewat, aku langsung meluncur ke kos mas Dn ngambil bahan editan dengan masih basah kuyup habis kehujanan di perjalanan. Akhirnya sampai kos langsung ngerjain editan sampai pagi...
Satu sesi selesai dan lagi dirender, aku tinggal browsing-browsing deh. Selesai rendering, langsung edit sesi 2. Eh ditengah ngedit hapeku bunyi. Bukan pesan masuk, bukan telepon masuk, tapi pengingat event yang tertulis jam 3 sore rapat museum, jam 5 sore rapat EO, padahal ni editing musti selesai jam 7. Dengan kecepatan cahaya aku ngebut ngedit film sesi2(kayake hasile amburadul). Dan berhasil menyelesaikan sebelum waktunya.
Tapi sial rendering sesi 2 trouble, dan musti ditunggu agak lama. Dan skarang sudah jam 7 kurang dengan total rendering masih 37 %, kayake bakal molor lagi nih pesanan, dan ku coba mengingat sesuatu yang kulupakan....
...aku belum makan dari sjak berangkat ke candi cetho...
Jumat 20 desember 2008
Malam itu aku nginep di tempate A, temen chating anak uii yang kosnya deket kosku, ngutak-atik internet sambil menunggu waktunya sholat jumat menemani A tidur. Hoho anak ini berhasil mbobol server telkomsel, jadi ngenet gratis meski super lemot. Selesai jumatan aku ke indosat untuk menyeting kartu indosatm2 ku yang gak bisa dipakai padahal udah diaktifin, dapetnya sih antrian 647, dan sekarang lagi antrian 637, dibanding antrian lain, yang antri di bilik m2 paling sedikit, tapi siapa sangka antriane bakal paling lama dari yang lain. Hoho aku sampe tidur di indosat nunggu antrian, sialan selesai jam 5 sore...
Adik kelasku dah janji mau ke jogja sama temene, so aku musti siap2 jemput mereka, yah terpaksa gak mandi deh.... (padahal emang males) Malem itu ngumpul sama anak-anak terus beli nasi goreng dibungkus meski akhire nasi gorengku dimaem temen2.
Nginep di kantor D rame-rame, aku gak tidur gara2 nyoba setingan m2 yang baru.
Paginya nganter adik kelas ke busway, kemudian siap-siap buat touring ke Candi Cetho.(cerita di candi Cetho laen kali aja)
Pulang dari candi Cetho sudah jam 8 malem lewat, aku langsung meluncur ke kos mas Dn ngambil bahan editan dengan masih basah kuyup habis kehujanan di perjalanan. Akhirnya sampai kos langsung ngerjain editan sampai pagi...
Satu sesi selesai dan lagi dirender, aku tinggal browsing-browsing deh. Selesai rendering, langsung edit sesi 2. Eh ditengah ngedit hapeku bunyi. Bukan pesan masuk, bukan telepon masuk, tapi pengingat event yang tertulis jam 3 sore rapat museum, jam 5 sore rapat EO, padahal ni editing musti selesai jam 7. Dengan kecepatan cahaya aku ngebut ngedit film sesi2(kayake hasile amburadul). Dan berhasil menyelesaikan sebelum waktunya.
Tapi sial rendering sesi 2 trouble, dan musti ditunggu agak lama. Dan skarang sudah jam 7 kurang dengan total rendering masih 37 %, kayake bakal molor lagi nih pesanan, dan ku coba mengingat sesuatu yang kulupakan....
...aku belum makan dari sjak berangkat ke candi cetho...
akhirnya...
Dari dulu pengen banget aktif di komunitas online, tapi karena keterbatasan dana dan waktu yang memaksaku tidak bisa terjun bebas di dunia maya ini. Blogger, Hacker, Cracker, web master, dan lain lain yang terjebak dalam dunia tanpa batas nyata sebagai ungkapan kreasi ide dan gagasan yang terkadang tidak diindaahkan di dunia nyata.
Akhirnya disaat semua harga menjadi terjangkau karena penghasilan sendiri yang bukan mengemis ke orang tua lagi, aku berhasil mewujudkan salah satu impianku terjun ke dunia maya. Bermodal awal handphone SE K-610i dan sim card indsat M2 dari hasil usaha video shooting yang udah hampir satu tahun aku tekuni (padahal gak tekun), aku mulai bisa mengakses internet dimana saja tanpa harus menguras uang lagi.
Dan sekaranglah saatnya aku mau mengekspresikan diri di dunia tanpa rupa ini. Terjun dalam bisnis maya yang mungkin sudah banyak orang didalamnya, dan aku termasuk salah satu yang gaptek.
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang selalu melimpahkan karunianya kepadaku, terimakasih kepada bapak dan ibuk yang udah ngasih support untuk kegiatan-kegiatanku yang tersering tidak jelas, terimakasih pada mbak inun dan dek lia walo sering bertengkar tapi sodara tetep saling membutuhkan.
hoho postingan kedua setelah sekian lama koq aneh banget yah...
Akhirnya disaat semua harga menjadi terjangkau karena penghasilan sendiri yang bukan mengemis ke orang tua lagi, aku berhasil mewujudkan salah satu impianku terjun ke dunia maya. Bermodal awal handphone SE K-610i dan sim card indsat M2 dari hasil usaha video shooting yang udah hampir satu tahun aku tekuni (padahal gak tekun), aku mulai bisa mengakses internet dimana saja tanpa harus menguras uang lagi.
Dan sekaranglah saatnya aku mau mengekspresikan diri di dunia tanpa rupa ini. Terjun dalam bisnis maya yang mungkin sudah banyak orang didalamnya, dan aku termasuk salah satu yang gaptek.
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang selalu melimpahkan karunianya kepadaku, terimakasih kepada bapak dan ibuk yang udah ngasih support untuk kegiatan-kegiatanku yang tersering tidak jelas, terimakasih pada mbak inun dan dek lia walo sering bertengkar tapi sodara tetep saling membutuhkan.
hoho postingan kedua setelah sekian lama koq aneh banget yah...
Langganan:
Postingan (Atom)