Rabu, 24 Desember 2008

Orang belanda menulis sejarah dari sudut orang jawa

Judul Buku: Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870
Karya : Vincent J.H. Houben


Buku ‘Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870’ adalah buku karangan Vincent J.H. Houben yang semula merupakan tesisnya yang berhasil dipertahankan di Universitas Leiden pada tahun 1987 dengan sedikit perubahan bahasa agar dapat diterima oleh kalangan masyarakat luas, bukan hanya kalangan akademisi. Pada dasarnya buku ini mengulas tentang persoalan-persoalan dalam keraton Yogyakarta dan Surakarta pasca kedatangan bangsa Belanda dalam kurun waktu tahun 1830 sampai dengan 1870. Buku ini merupakan sumbangan besar untuk pengetahuan sejarah mengenai keraton mengingat keterbatasan akses ke dalam keraton selama ini sehingga susah untuk mendapatkan informasi terutama tentang sejarah keraton itu sendiri.

Houben yang menmperoleh data dari Belanda tidak hanya menulis pandangan dari sudut pihak kolonialisme Belanda, namun juga dari bagaimana sudut pandangan imperialisme di Jawa sendiri. Hal ini dikarenakan Houben tidak hanya menggunakan sumber-sumber berbahasa Belanda, namun juga sumber-sumber berbahasa Jawa yang didapatnya dari perpustakaan universitas Leiden. Sebagian besar manuskrip berbahasa Jawa di universitas Leiden adalah salinan dari yang asli yang sudah hilang atau berada di dalam keraton yang susah untuk diakses masyarakat umum.

Buku ini menuliskan tentang dua daerah semi-otonom di Indonesia yang memiliki status kuat di mata masyarakat Jawa. Diawali dari tahun 1830 yaitu selesainya perang Jawa dengan ditanda-tangani perjanjian mengenai peletakan batas-batas kekuasaan, hingga tahun 1970, dengan selesainya pembangunan jalur kereta api Yogyakarta – Semarang dan Solo – Semarang yang berarti puncak ekploitasi Belanda terhadap dua wilayah tersebut. Tahun – tahun tersebut merupakan titik awal pembangunan secara bertahap yang dilakukan oleh dua kerajaan setelah perang Jawa.

Sistem Pemerintahan

Pembagian wilayah kerajaan didasarkan pada sejumlah lingkaran konsentrasi. Dari lingkaran dalam nagara (ibukota), nariwita dalem (ranah-ranah raja), nagaragung (tanah-tanah apanase), dan mancanagara (wilayah luar). Di puncak tangga bangsawan Jawa ada raja yang didalam kerajaan Islam disebut sebagai sultan dan susuhan yang melegitimasi kekuasaannya dengan mengaku memiliki posisi sakral. Seharusnya, raja tidak mencampuri urusan pemerintahan kerajaan yang telah diserahkan kepada patih, namun praktiknya berbeda. Elite kerajaan terdiri 3 kelompok yaitu para satriya yang memiliki hubungan dengan para penguasa, priyayi yang bertanggung jawab menjaga keadilan dan ketertiban di luar ibukota, serta para aristokrat religius yang terdiri dari petugas Muslim yang bertugas mengelola masjid, menjaga makam, dan memberi instruksi agama.

Manajemen keraton berada di bawah kewenangan empat nayaka (bupati jero). Seluruh wilayah kekuasaan di luar ibukota berada dalam yuridikasi kapatihan yang dipimpin oleh patih. Kadipaten yang dipimpin oleh pangeran adipati (putra mahkota) menduduki sebuah posisi di atas semua kerabat yang memiliki hubungan darah dengan penguasa. Serta pangulon yang diatur oleh pangulu mengatur hal yang berkaitan dengan agama. Masing-masing bangsawan pengatur manajemen tersebut memiliki kompleks kantor dan tempat tinggal sendiri yang saling berdekatan satu sama lain, sehingga kerap menimbulkan ketegangan.

Narawita adalah tanah yang dipesan untuk penguasa yang penghasilan darinya diperuntukkan bagi penguasa dan keluarganya. Nagaragung adalah tanah milik para warga istana yang diperlakukan sama seperti narawita. Pengelolaan tanah tersebut dilakukan oleh nayaka jaba. Pemegang tanah perdikan diwajibkan menyerahkan 2/5 hasil pertanian dan pekerja wajib kepada keraton. Selain itu, pemegang tanah juga diwajibkan memelihara hukum dan ketertiban lingkngannya.

Daerah mancanagara adalah daerah terjauh dari keraton. Semakin jauh dari wilayah ibukota, semakin bebas penguasaan terhadap tanah oleh para bangsawan setempat. Para “penguasa bebas” di mancanagara dipaksa unuk tinggal berlama-lama di tampuk kekuasaannya. Sang penguasa mengawinkan habis semua kerabat perempuannya untuk memperkuat basis kekuasaannya. Mereka memperoleh 2/5 dari hasil tanah daerah kekuasaannya. Orang yang memberontak terhadap sistem upeti diadili dan kemudian dihukum mati.

Sultan Hamengku Buwana III melakukan tindakan dengan alasan politis untuk mengontrol kekuasaannya yang sangat terbatas di daerah mancanagara. Anggota wanita dari para pengawal pribadi yang telah terlatih dinikahkan dengan para bupati mancanagara, sedangkan sultan sendiri juga menikah dengan wanita dari daerah mancanagara dimana kekuasaannya hanya memiliki sedikit pengaruh. Sementara untuk meningkatkan status kesakralan posisinya, sultan mengambil selir dari putri para ulama.

Keadaan setelah perang Jawa (1825-1830)

Van den Bosch menetapkan kebijakan mempercayakan kekuasaan Belanda kepada para bupati di Jawa. Dia merasa perlu tetap mempertahankan kekuasaan raja-raja di Jawa untuk memberi kesan kepada rakyat bahwa para bupati berada di bawah raja padahal sebenarnya tidak. Kebijakannya ditentang oleh Merkus yang tidak setuju keraton Solo dan Yogya tetap memegang kekuasaan, karena bisa memunculkan klaim kemerdekaan dari kedua keraton atau menimbulkan pemberontakan baru. Merkus de Kock menganggap tujuan pemerintah Belanda menggulingkan kedua kerajaan di bawah tahta mereka akan sulit dilakukan dengan rencana Van den Bosch. Van den Bosch yang gentar pada kritikan terhadap rencananya memberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan misi Merkus dan Van Sevenhoven.

Keadaan keraton Yogyakarta sangat menderita karena perang. Keraton dan istana kepangeranan banyak yang rusak, penduduk mengungsi secara besar-besaran, kekurangan pangan dimana-mana dan keadaan sultan Hamengku Buwana V yang masih anak-anak belum bisa menggunakan kewenangan pribadinya. Sebagian anggota keluarga Diponegoro minta ijin kembali ke ibukota. Dipakusuma, salah seorang anak dari Diponegoro mengirimkan surat kepada residen van Nes untuk memulihkan kedudukannya yang dihormati Belanda. Tanggal 29 Maret 1830, van Nes mengumumkan penangkapan Diponegoro. Mayoritas pangeran yang hadir menyatakan kegembiraannya, sementara yang tampak kurang senang diawasi dengan ketat.

Keadaan keraton Surakarta berbeda dengan keraton Yogyakarta. Istana dan keraton terhindar dari kerusakan akibat perang, namun selama perang, hubungan dengan daerah luar terputus sehingga keraton kekurangan pasokan bahan makanan. Di tambah lagi dengan kepenguasaan susuhan Paku Buwana VI masih menjadi persengketaan diantara warga istana. Paku Buwana akhirnya memutuskan untuk berdamai dengan Balanda. Dia menjadi lebih sering berkumpul dengan orang Eropa. Berita tertangkapnya Diponegoro dimanfaatkan untuk memamerkan itikad baik Paku Buwana kepada Belanda untuk mendamaikan Jawa. Hal ini dimanfaatkan Belanda untuk meminta wilayah Solo dan pembubaran prajurit yang dibentuk sunan.

Masalah Suksesi Pemerintahan

Ada rangkaian kejadian masalah besar yang mirip yang terjadi di Yogyakarta dan Surakarta. Masalah suksesi yang terjadi di Solo tahun 1834-1858 dan di Yogyakarta tahun 1847-1869 dikarenakan tidak adanya keturunan laki-laki dari raja. Paku Buwana VII, yang menggantikan Paku Buwana VI yang melarikan diri, memiliki putri beranam Raden Ayu Sekarkedhaton yang selalu menjadi objek lamaran dari berbagai penjuru, Pangeran Mangkubumi, putra Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Riya Kusuma, Raden Mas Deksana (Putra Paku Buwana VI), bahkan sampai Mangkunagara III (putra mahkota Yogyakarta). Akan tetapi, Raden Ayu Sekarkedhaton dengan dukungan ayahnya menolak politik perkawinan yang sudah biasa dilakukan pihak yang haus kekuasaan.

Ketika Paku Buwana VII wafat, Raden Ayu Sekarkedathon menjadi penerus tahta dan diberi hak menentukan sendiri pria yang akan dinikahinya. Namun Campur tangan Belanda mengumumkan secara pribadi Pangeran Adipati Ngabehi dinobatkan sebagai Susuhan dan putra Paku Buwana VI, Pangeran Prabuwijaya, sebagai putra mahkota. Paku Buwana VIII hanya sebentar memegang takhtanya, bulan 1858 sampai Desember 1861. Setelah kematiannya, putra mahkota Pabruwijaya dinyatakan sebagai Paku Buwana IX dan dinobatkan sebagai susuhan.

Di Yogyakarta, putri Hamengku Buwana V, Raden Ajeng Sukinah menikah dengan putra tidak sah Hamengku Buwana VI, pangeran Ngabehi, dengan demikian memulihkan garis keturunan langsung dari Hamengku Buwana V. Namun legitimasi perkawinan ini gugur karena pangeran Ngabehi mengelantarkan Raden Ajeng Sukinah. Dalam hal ini, berarti politik perkawinan juga tidak berhasil di Yogyakarta.

Tahun 1872, Sultan yang tidak memiliki putra sah, adik laki-laki, atau paman, memutuskan menaikkan selirnya, Raden Ayu Sepuh, ke posisi ratu. Dengan demikian, pangeran Ngabehi diangkan menjadi Pangeran Adipati Anom dan direncanakan akan naik tahta setelah meninggalnya Hamengku Buwana VI.

Perubahan – Perubahan di Masyarakat

Setelah tahun 1860, Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta mengalami perubahan ekonomi yang besar bersama dengan tumbuhnya perkebunan barat di bawah manajemen orang Indo-Erora, orang Belanda dan lain-lain yang mengkonsentrasikan diri dalam produksi pertanian berskala besar untuk pasar Eropa. Mudahnya tanah di kedua kerajaan tersebut dikarenakan sistem tanah lungguh Jawa tradisional, dimana menyewakan tanah untuk mendapat uang merupakan bagian dari tradisi yang sudah lama berkembang.

Penyewa tanah memberikan perubahan draktis kepadakepemilikan lahan dan pekerjaan penduduk. Luas tanah yang biasa ditanami tanaman pokok oleh penduduk, berkurang. Harga beras meningkat seiring permintaan terhadap barang yang semakin berkurang. Cepatnya ekspansi jumlah dan luas area perkebunan di kedua kerajaan ini menyebabkan ditebangnya hutan-hutan jati. Pembukaan rel kereta api ke Semarang berarti melonjaknya mobilitas orang dan barang.

Pada awalnya pemilik tanah lebih kaya, namun akhirnya kehilangan sebagian kekuasaan dan kewibawaannya. Jumlah petani pemilik tanah berkurang dan jumlah buruh upahan meningkat. Perubahan sosial berubahan secara draktis seiring dengan perubahan ekonomi.

TENTANG KAJIAN

Buku yang sama pernah ditulis oleh C.J.J Van de Haspel dalam desertasinya yang membahas tentang perubahan keraton Surakarta dan Yogyakarta dengan kurun waktu 1880 sampai dengan 1930. Dalam desertasi yang diterbitkan sebagai buku itu, Van de Haspel menyinggung awal perubahan keraton diawali tahun 1830. Namun beda dengan Van de Haspel yang hanya menggunakan sumber berbahasa Belanda, Houben yang mengangkat perubahan kedua keraton di tahun 1830 hingga 1870, selain menggunakan sumber berbahasa Belanda, dia juga menggunakan sumber berbahasa Jawa dan Melayu. Selain sumber dari perpustakaan Universitas Leiden, Houben sempat berkunjung di Jakarta selama beberapa tahun untuk mepelajari sumber-sumber lokal. Buku ini lebih Indonesia-sentris daripada kajian dalam buku lain yang serupa.

Kajian dalam buku ini pada dasarnya adalah sejarah kolonial dengan studi epigrafi. Namun dalam perjalanan, buku ini lebih banyak mengkaji tentang kehidupan keraton yang dalam hal ini berarti masuk dalam sejarah Islam.

Kelebihan dari buku ini adalah kajiannya yang sangat jarang bisa didapatkan orang yaitu tentang sejarah di dalam keraton. Pembahasan mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil pihak keraton, keburukan yang dilakukan, hingga laporan keuangan terperinci dipaparkan dengan jelas. Kekurangan dalam buku ini adalah lebih membahas pandangan dari petinggi di keraton, sehingga kurang memperhatikan bagaimana pandangan masyarakat kecil. Hal ini tak lain dikanakan studi yang dilakukannya adalah studi epigrafi dan sejarah, yang mana sumber tertulis lebih banyak dibuat oleh kalangan bangsawan mengenai kegiatan mereka daripada memperhatikan sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar